• Minggu, 18 Juni 2023

    Review Film Ganjil Genap, Penggemar Rom-Com Harus Nonton!

     



    Kemarin untuk kedua kalinya, saya nonton film di bioskop lagi setelah jadi ibu plus pandemi. Total, lebih dari lima tahun absen nggak dengar suara "all around you" tiap sebelum nonton hehehe. Lamaa yaa... 

    Sebenarnya, habis lebaran kemarin, saya akhirnya pecah telor nonton di bioskop sih. Tapi, berhubung waktu itu film yang ditonton menurut saya so so, jadi happy-nya kurang nendang. 

    Nah, hari ini akhirnya saya merasakan lagi tuh perasaan seneng yang khas tiap kali habis nonton film bagus di bioskop. Rasa ingin senyum pas jalan di lorong menuju pintu keluar teater, dan langkah yang rasanya ringan plus menyenangkan, diiringi sisa musik end credit film. 

    Saya nonton Ganjil Genap, film komedi romantis yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Almira Bastari. Saya suka buku-bukunya, dan senang sekali waktu tahu Ganjil Genap mau diangkat ke layar lebar. Di sisi lain, ada sedikit skeptis dan penasaran juga sih. Filmnya bakal digarap seperti apa ya? Bakal selucu dan menyenangkan bukunya nggak ya? 

    Eh ternyata pas nonton, satu per satu skeptisnya luntur... 

    Film ini bercerita tentang Gala, perempuan hampir 30 tahun, yang tiba-tiba diputusin Bara, pacarnya selama 7 tahun lebih. Singkatnya film ini merangkum upaya Gala untuk move on, termasuk segala tantangan dan apes-apesnya.

    Seperti kebanyakan film adaptasi buku lain, rasanya sulit ya untuk ditonton tanpa membandingkan dengan bukunya. Apalagi pemeran utama, tiap orang pasti udah punya bayangan sendiri. Awalnya, pas cast reveal, Clara Bernadeth, pemeran Gala, terasa kurang cocok menurut saya. Tapi ternyata salah bos! Clara pas memerankan cewek 29-30 tahunan, dewasanya dapat, tapi part koplaknya Gala juga dapat. Cukup kaget, Clara ternyata bisa se-komedi itu ya mukanya. Agak sedikit kecewa sih, karena filmnya nggak memunculkan voice over suara dalam pikiran Gala yang kalau di buku suka lucu. Tapi overall oke banget lah Gala. 

    Paling top sih Oka Antara sebagai Aiman ya. Udah pas banget, nggak ada lawan. Adegan flirting sama Gala dapet gemesnya. Adegan serius pun sama okenya. Terus ya, undeniably terlihat ganteng sih memang hehehehe. Di film ini tuh rasanya kaya, Oka Antara > Kim Seon Ho (ampuun para seonhohada 🙏🙏🙏).

    Pemeran lainnya pun termasuk luwes dan pas, dari pemeran Bara sampai Papa, dan Mama Gala. Joshua Suherman sebagai Nandhi lucuu. Penggambaran persahabatan Gala, Nandhi dan Sydney juga terasa hangat walau nggak jadi inti cerita. 

    Dari segi cerita, walau ada perbedaan dan pengurangan dari buku, tapi skenarionya menurut saya bisa mentransfer "rasa" bukunya dengan baik. Pertemuan Gala dan Aiman terasa "meet cute" -nya, walau komedi banget juga sih. Kalau kamu belum baca buku Ganjil Genap, kamu nggak perlu khawatir, karena filmnya tetap mudah diikuti. 

    Nah, soal komedi, film ini terasa cukup lucu dan menyenangkan. Nggak banyak jokes "hadeeeh" seperti yang sempat saya khawatirkan. Malahan banyak momen ketawa pas nonton, komedinya cukup rapat dan nggak cringe gimana gitu. Bukan film yang bikin saya ketawa ngakak, tapi ini seriusan lucu. Rom-com banget lah.

    Kalau boleh komplain, saya menyayangkan hilangnya bagian "petualangan" Gala ke Malaysia sih, karena kayanya seru kan Aiman jadi ada lawannya lagi. Tapi sepertinya memang pertimbangan durasi juga yaa. So it's okay... Hats off lah untuk Benedion sebagai sutradara dan penulis skenario, juga Awwe sebagai comedy consultant

    Secara visual, film ini terhitung nyaman ditonton. Kamu nggak akan menemukan coloring yang lebay dan ganggu. Pengambilan gambar di film ini juga bikin saya kangen Jakarta, karena gambar-gambarnya menonjolkan sisi romantisnya Jakarta. Lumayan lah buat kamu yang tinggal di Jakarta dan ingin sejenak lupa sama polusi dan keruwetan Jakarta lainnya. Musik latar juga oke dan pemilihan lagunya menyenangkan. Pulang nonton film ini, auto jadi ingin mutar"Kamulah Satu-satunya" terus-terusan. Sayang saya belum nemu versi soundtrack film ini di Spotify.

    Intinya, saya senang nonton film ini. Indonesia butuh lebih banyak rom-com menyenangkan seperti ini sih, pliss pliss 🙏. Biar rom-com kita jaya jaya jaya! wkwkwkwk. Saya sangat merekomendasikan untuk nonton film ini di bioskop, terutama buat para rom-com mania, wajib! hehehe. Untuk saya pribadi, film ini boleh lah masuk daftar rom-com Indonesia favorit bareng "Kejarlah Daku Kau Kutangkap" dan "7 Hari 24 Jam". 

    Film Ganjil Genap tayang 29 Juni 2023 di bioskop, tapi ada special screening di beberapa bioskop akhir pekan ini. Saya kemarin tahu info special screening ini dari twitter Almira Bastari. Oh iya, by the way buku-buku Almira Bastari selain Ganjil Genap juga recommended lho untuk kamu yang cari bacaan ringan dan menyenangkan. Yuk nonton filmnya dan baca bukunya 😊







    Jumat, 06 Maret 2020

    Manzila's Romcom List 2019






    Oh i love romcom! Dari jaman remaja cilik, yang nonton romcomnya nyewa dari rental vcd dan ditonton bareng Ibuk, sampai sekarang sudah tiga puluh satu tahun juga masih seneng romcom.

    Ya apalagi sekarang sih... Sejak jadi ibu, dengan waktu me-time yang ga sebanyak dulu, rasanya otak dan hati ini cuma punya ruang untuk romcom. Habis rata-rata enak ditonton, ringan, dan menyenangkan. Gak sanggup lagi sekarang nonton yang njelimet, sedih, terlebih yang serem-serem, ampun dah.... (eh kecuali Stranger Things ding, eh itu mah ga serem ya? Haha, sorry I digress)

    Nah dari banyak romcom yang saya tonton selama 2019, ini nih daftar romcom yang paling saya suka. Tiga film yang saya sebut paling awal, adalah yang paling saya suka. Film ketiga sampai ketujuh, saya juga sangat suka tapi mulai bingung ngurutinnya. Dan sisanya layak dicoba buat menghabiskan waktu lah. 

    Okay, here we go!


    Long Shot


    Sejak awal kemunculannya memang film ini sudah masuk list film yang pingin ditonton sih, soalnya ceritanya terasa baru dan belum pernah aja lihat romcom model begini.

    Jadi Charlotte (Charlize Theron), dulunya pernah babysitting Fred (Seth Rogen) pas kecil, terus mereka ketemu lagi pas Charlotte jadi capres dan Fred, yang jurnalis idealis, lagi jobless. Terus di-hire lah si Fred ini sama Charlotte untuk jadi speech writernya dia. Terus setelah lewatin ini itu, berantem ini itu, mereka berdua jadi deket. Nah lho, piye kalo capres kaya Charlize Theron pasangannya Seth Rogen? seru ga tuh?

    Oh iya, buat kamu yang nonton romcom tapi masih pake berasa guilty, Long Shot ini mungkin ga guilty guilty banget, soalnya settingnya kan politik-politik gitu, jadi terkesan agak ga ringan dikit lah walaupun di beberapa scene ngakak-ngakak juga sih hahaha. 


    Brittany Runs a Marathon


    Sejujurnya, saya nggak pernah tau dan otomatis nggak pernah kepikiran juga untuk nonton film ini. Sampai akhirnya, suatu hari, lagi pingin break nonton Modern Love di amazon prime, dan asal aja milih nonton film ini.

    Surprisingly, saya suka banget filmnya. Ceritanya mungkin kaya udah pernah denger, alias familiar ya, soal cewe pingin kurus. Ekspektasi awal sih standar aja, kirain cuma tipe film buat menghabiskan waktu aja, ga taunya heart-warming euy.

    Film ini based on true story, tentang seorang perempuan yang memilih perubahan positif untuk dirinya sendiri lewat lari.

    Kalau nonton trailernya sih kayanya film ini bukan film yang bagusnya wah banget gitu, walaupun bertabur kutipan pujian. Tapi pas nonton, somehow kok "kena" ya di saya. Bahkan, di bagian akhir film, saat Brittany akhirnya ikut New York City Marathon, saya sampe berkaca-kaca pengen nangis lho... Layak dicoba banget sih film ini. Pake free trial amazon prime aja, mayan gratis hehehe.


    Love For Sale 2


    Sejujurnya ini satu-satunya film cinta-cintaan Indonesia keluaran 2019 yang saya tonton. Saya suka sih. Kagum sama karakter Arini dan aktris pemerannya (Della Dartyan). Kok bisa megang banget di dua situasi berbeda gitu ya, antara film awal dan sekuelnya. Memang baiknya, nonton film awalnya dulu sih supaya kerasa, betapa misterius dan ajaibnya Si Arini ini.

    Selain sosok Arini, ibunya Ican yang diperankan bu Ratna Riantiarno juga jadi bagian paling nyenengin sih, karena juga megang banget. Mewakili sekaki karakter ibu-ibu yang serba kuatir soal jodoh dan masa depan anak-anaknya, baik perhatiannya, usaha dan doanya, maupun rewel serta resenya.

    Dari segi cerita juga memang cukup runyam sih ini film, sesuai dengan tagline promonya, kisah cinta paling horor tahun ini katanya.

    Oh iya, buat yang sudah nonton Love for Sale dan ga suka, jangan buru-buru antipati sama sekuelnya ini. Karena dua film ini cukup berbeda sih, dan saya pribadi memang overall lebih suka sekuelnya.


    Yesterday 


    Jujur tertarik sama film ini karena keterkaitannya sama The Beatles sih. Alur ceritanya sebenernya cukup familiar buat orang yang sering nonton romcom seperti saya, tapi jadi menarik karena ada semesta lain di mana ga ada The Beatles. Cuma Jack (Himesh Patel), seorang musisi ga laku, aja yang ngeh sama The Beatles dan lagu-lagunya. Jack lalu menyanyikan lagu-lagu hit The Beatles dan jadi terkenal. Terus muncul deh konflik sama orang-orang terdekat, persoalan seleb anyaran, dan masalah etis soal lagu-lagu andalan yang sesungguhnya bukan ciptaan dia itu. 

    Film ini menyenangkan ditonton karena selain bisa denger lagu-lagu The Beatles, ada Ellie (Lily James) yang adorable, cameo Ed Sheeran yang kadang kocak, plus agak sedikit deg-deg an juga sih pas nonton dan coba menerka kira-kira gimana ya kalo Jack ketahuan. 

    Oh iya, ada kejutan tipis juga di bagian hampir akhir film. Seneng aja rasanya membayangkan kalau seandainya beneran kejutan itu jadi nyata. 

    Someone Great 


    Saya nonton film ini karena pas lihat trailernya di Youtube, nemu beberapa komen yang kira-kira berbunyi: "aku nonton ini gara-gara Taylor Swift"

    Sebagai penggemar mbak Swift, saya pun langsung ke-trigger deh. Setelah akhirnya nonton, ternyata beneran suka dan ga nyesel sih. 

    Rasanya pingin ngajak diri saya sendiri 5 sampai 15 tahun lalu nonton film ini deh... kayanya lumayan signifikan buat ngurangin frekuensi nangis-nangis ga penting pada masanya hehehe.

    Walaupun girl gang-nya Jenny (Gina Rodriguez) agak "rusuh", dan terlalu swag kali ya buat saya (yang cupu ini), tapi mereka bener-bener menggambarkan kalo salah satu yang paling kita butuhkan usai break up yang kampretos, ya memang teman-teman tersayang.

    Belakangan, setelah nonton filmnya, saya baru inget mikir: "tadi jadinya apa ya hubungannya film ini sama Taylor Swift?" 

    Dan setelah googling ternyata uwuu banget sih jawabannya. Salah satu inspirasi dibalik ide film ini adalah Clean-nya Taylor Swift, dan lalu mbak Tay nonton film ini, lantas terinspirasi untuk bikin lagu Death by a Thousand Cuts. Lucu ya kan? bisa bolak balik gitu.

    Selain itu, poin tambahannya, soundtrack film ini banyak yang catchy dan pas. Truth Hurts-nya Lizzo ga usah disebut lah ya, udah nyatu banget sama filmnya juga. Yang tiba-tiba ngegelitik kuping saya sih Mansard Roof-nya Vampire Weekend.  Secara timeline relationship Jenny dan pacarnya (eh mantan ding), lagu ini pas banget. Soalnya era lagu itu dirilis, kebetulan juga memang era kita lagi geblek-gebleknya, terjerembab ke relationship yang kita pikir bakal selamanya, eh ternyata sama sekali enggak. Iya ga sih? Or it's just me? Kamu umurnya ga tiga puluh tahunan kaya saya ya? Hehehehe.

    Baiklah karena penjelasan saya mulai ngaco, baiknya coba tengok langsung di Spotify aja kali ya. Beberapa favorit saya lainnya: Supercut-Lorde, Old Man Saxon-The Perils, Rain-Nicole Bus, Don't Stop The Groove-Rudey Barnes, dan Your Best American Girl-Mitski.


    Plus One


    Film ini bercerita tentang permasalahan runyam-runyam sedap, soal sahabat yang jadi ekstra dekat setelah mereka janjian untuk gantian jadi temen kondangan satu sama lain. Yang bikin film ini menarik menurut saya, dialog dan pemerannya sih. Terutama pemeran Alice (Maya Erskine) yang terkesan "nyablak" tapi sebenernya alus juga hatinya macem cheesecake fluffy. 

    Acting Maya Erskine dalam salah satu adegan bahkan berhasil bikin bikin saya melontarkan komentar emosional macam "Ya Tuhan, ppjahatnyaa ini Si Ben (Jack Quaid) pengen jitak jadinya"

    The Sun is Also a Star



    Film ini saya tonton karena kemakan banget sih sama trailernya. Potongan adegan dan musiknya pas, cuplikan dialog juga uwuu, dan gambarnya bagus.

    Fyi, film ini diangkat dari buku bestseller gitu, tapi saya ga baca bukunya. Ceritanya tentang mas mas korea-amerika calon dokter yang naksir seorang mbak mbak yang tadinya ga percaya cinta, tapi akhirnya naksir juga. Masalahnya, mereka cuma punya waktu satu hari untuk menyikapi ini semua.

    Setelah nonton filmnya beneran, ada beberapa ekspektasi saya yang nggak terpenuhi sih. Filmnya di beberapa momen nggak sebagus trailer. Tapi dari sisi cerita memang oke dan unik, jadi tetep nggak nyesel nontonnya. Kalau kamu tipe yang hopeless romantic pasti suka sih kayanya.


    The Hustle



    Film yang satu ini sebenarnya lebih komedi sih ketimbang romance. Tapi saya suka banget, karena lucu dan menghibur. Ceritanya tentang perselisihan kocak dua con woman yang beda gaya dan beda kelas gitu.

    Di bagian akhir film ada plot twist tipis. Terus pas filmnya selesai ada lagunya Meghan Trainor yang mood booster banget (buat saya sih hehe). 

    Friend Zone


    Dari judul udah ketahuan lah ya ceritanya soal apa.Tahun ini saya cuma nonton dua romcom thailand rilisan baru, London Sweeties dan Friend Zone. Buat saya, Friend Zone lebih jelas, dan lebih menghibur sih. Film ini diproduksi GDH, studio film yang juga memproduksi Bad Genius dan A Gift, boleh lah ya dimasukin watchlist. 


    Isn't It Romantic


    Konsepnya cukup lucu, romcom tapi nyeritain soal orang yang ga suka romcom dan dia kejebak dalam hidupnya yang tiba-tiba jadi kaya romcom setelah sebuah kecelakaan. Bukan romcom yang "mbekas", tapi menyenangkan untuk ditonton.


    Kamis, 21 Maret 2019

    Melihat Down Syndrome Lebih Dekat,Lebih Hangat :)



    Hai!

    Saya Manzila, ibu dari Seruni, bayi lucu nan gemas yang lahir dengan down syndrome/ trisomi 21. Saya ingin berbagi playlist video favorit nih yang menurut saya menggambarkan down syndrome dengan lebih komprehensif, nggak melulu bagian yang menantang, tapi juga bagian yang menyenangkan.

    Seperti banyak hal lain dalam hidup, down syndrome punya banyak sisi, yang nggak adil rasanya kalau banyak orang hanya tahu satu sisi saja. Down syndrome masih sering asing buat orang kebanyakan, nggak heran kalau muncul beberapa anggapan umum soal down syndrome yang sebenarnya kurang pas. Nah harapannya setelah nonton video-video ini, pandangan yang masih kurang pas itu bisa terganti dengan yang lebih sesuai lah yaa...

    Baeklah, langsung aja ya, saya sebutin satu-satu di bawah ini sekaligus alasannya kenapa video-video itu jadi kesukaan :)


    Biffin And Turner




    Rasanya ini video tentang down syndrome yang pertama kali saya tonton. Jauh sebelum saya hamil dan melahirkan Seruni, video ini pernah seliweran di sosmed, dishare banyak orang karena memang manis dan aaaawww banget gitu deh. Setelah punya anak dengan down syndrome (ADS), nonton ulang video ini bener-bener bikin saya merasa bahwa ungkapan "extra chromosome equals extra love" itu nyata.


    Things People With Down Syndrome Are Tired Of Hearing



    Video ini termasuk salah satu video yang saya tonton di masa-masa awal kelahiran Seruni. Saat awal tahu Seruni lahir dengan down syndrome, jujur saja hati ini sempat ciut, apalagi setelah baca hasil googling yang sedih-sedih gitu. Nah video ini salah satu yang ngademin ati kala itu, karena video ini menunjukkan beberapa persepsi salah orang kebanyakan soal down syndrome, jadi saya sebagai ibu baru nggak kalut-kalut banget. Plus, video ini menurut saya dibumbui selera humor yang oke sih hehehe.


    Dear Future Mom


    Saya ingat betul pertama kali saya tahu bahwa ada kemungkinan bayi dalam kandungan saya lahir dengan kelainan kromosom. Rasanya semuanya runtuh, sampai-sampai badan ini tak bisa dipakai melakukan apapun kecuali menangis dan tertidur. Saya tak mencari tahu apapun soal down syndrome saat itu, karena akhirnya saya dan suami memutuskan untuk tidak mengambil tes yang memastikan ada tidaknya kelainan serta apa bentuk kelainan kromosom anak kami.

    Waktu itu, kami berpikir lebih baik menggunakan tenaga pikiran dan uang untuk fokus saja merawat kehamilan serta mempersiapkan persalinan ketimbang menjalankan tes lantas gelisah tak berguna sesudahnya. Toh bagaimanapun juga kami sudah terlanjur jatuh hati pada Seruni. Jadi kami tetap menikmati masa hamil, ya walaupun tak bisa dipungkiri seringkali deg-degan dan gelisah juga sih.

    Kalau saja kami tahu dan menemukan video ini saat itu, mungkin jumlah air mata yang menetes dan hari-hari gelisah kami bisa berkurang cukup signifikan hehehe.
    Video ini menunjukkan bahwa memiliki anak dengan down syndrome pada dasarnya sama bahagianya dengan memiliki anak tipikal. Tentu kami harus melewati masa-masa sulit, dan stress (banget) juga kadang hahahaha, tapi toh memang parenting ya begitu to pada umumnya? Cuma kami memang perlu sedikit ekstra aja, gapapa banyak tantangan, biar greget dan lebih rewarding ya kan ;)

    Nah video ini sangat saya sarankan buat ibu yang menerima diagnosis spesial di masa kehamilan, agar tak seperti saya yang cuma fokus merawat kehamilan dan persalinan, ibu juga bisa mulai mencari tahu soal treatment apa yang nanti diperlukan putra-putri kecilnya saat sudah lahir nanti. Semangat bu ✊


    Dad Defends Son With Down Syndrome



    Sejujurnya video ini agak sedih dan mengharukan sih. Sedih karena memang masih ada aja (dan banyak mungkin) yang menganggap down syndrome itu (mengutip video di atas) an illness of not knowing anything :(

    Rasanya kaya gemes-gemes pengen nyubit (pake tang) gitu deh tiap kali nemu orang yang beranggapan down syndrome = penyakit, down syndrome = idiot. Ya walaupun saya akan coba usahakan untuk tetap berprasangka baik sih. Barangkali orang itu emang kurang wawasan aja, jadi belum ngerti. Ibarat kata para jamaah traveler instagram, mainnya kurang jauh hehehe.

    Itu lah motivasi kenapa saya bikin-bikin postingan macam ini. Salah satu dari sekian banyak pe-er orangtua ADS memang mengadvokasi anak sendiri dan membantu masyarakat lebih paham soal down syndrome.
    Nah bagian mengharukan dari video di atas menurut saya adalah advokasi yang dilakukan si bapak untuk anaknya, yang walaupun telat tapi tetep manis banget sih. Dan saya sepakat 100% sama si bapak bahwa
    "down syndrome is literally one of the most beautiful things that ever happened to my life, it's fun, it's brilliant, it's amazing, it's funny, it's kind, it's loving, it's cuddly, they're great teacher, people with down syndrome" 
    :'))


    Happy - Utah Down Syndrome Foundation




    Habis nonton yang agak bikin mbrebes mili, yuk kita hepi-hepi lagi. Ini video jadi favorit saya juga karena di sini bisa lihat banyak teman-teman Seruni nari nari hepi sekali. Seneng aja lihatnya, heart warming :)

    Oh iya, barangkali ada satu dua diantara warganet budiman yang setelah nonton video di atas jadi bertanya-tanya kenapa ya kira-kira kok individu dengan down syndrome punya gestur dan karakteristik gerak yang beda dengan individu tipikal?

    Kalau boleh sharing sedikit info, banyak individu dengan down syndrome punya kondisi hipotonus alias tonus otot yang lemah. Itu lah kenapa hal-hal seperti berjalan, lari, lompat, bersepeda, menari, dll jadi lebih menantang bagi mereka. Bahkan karena kondisi hipotonus ini makan dan berbicara pun bisa jadi butuh perjuangan juga karena kemampuan oromotor mereka yang beda dengan individu kebanyakan. Jadi plis atu lah jangan dianggap aneh, kan desainnya memang diciptakan begitu oleh Allah, dan saya yakin desain Allah selalu sempurna kok :)


    Keeping up with Chris, Excelling with Down Syndrome


    Video yang satu ini boleh dibilang parenting goal banget buat saya dan sering saya tonton ulang tiap kali galau. Hehe iya, galau. Wajar lah, sebagai manusia dan ibu biasa saya adakalanya galau juga. Buibu yang punya anak tipikal aja kadang galau juga ya kan?

    Video ini bercerita tentang Chris, individu dengan down syndrome asal Sydney. Ia seorang atlit, pekerja kantoran, pelatih gimnastik anak-anak, dan mahasiswa di Sydney University. Seru ya? :)
    Sama seperti orang tua anak dengan down syndrome pada umumnya, orang tua Chris juga sempat melewati masa-masa kehilangan harapan. Tapi dengan kerja keras mereka berhasil membesarkan Chris jadi individu yang berprestasi dan mandiri. Chris punya pekerjaan tetap dan bahkan sedang asik belajar nyetir mobil sendiri.

    Video ini panjang karena memang cukup detil mengulas hidup Chris yang juga banyak sisi dan banyak arti. Kalau kamu nggak punya banyak waktu tapi tetep pingin tahu, bisa nonton versi trailernya aja di bawah ini:




    World Down Syndrome Day Videos

    Nah kalau video-video di bawah ini saya suka karena dibuat dalam rangka World Down Syndrome Day (WDSD) yang diperingati tiap tanggal 21 Maret. Tahun ini saya excited sekali karena boleh dibilang ini WDSD beneran saya yang pertama. Seruni memang sudah sempat merayakan WDSD tahun lalu, tapi saat itu usianya masih 2 bulan dan kami masih kurang greget karena masih menunggu hasil penegakan diagnosis melalui tes kromosom. Berikut yaa video-videonya... Manis manis deh, dan bikin ati jadi kaya bolu kukus baru mateng, anget :)

    Dont Stop Me Now


    Shining a Light on World Down Syndrome Day


    50 Moms 50 Kids 1 Extra Chromosome




    Minggu, 07 Januari 2018

    Dua Bulan Mencoba Hygeia


    Jadi ceritanya sudah dua bulan ini saya ganti sabun jadi Hygeia. Kenapa? karena nggak sengaja nemu aja sih. Awalnya cek-cek online shop produk-produk organik gitu karena pingin beli kaldu bubuk non msg, eh ternyata nemu sabun ini. Saya tertarik karena deskripsi produknya menyebutkan kalau sabun ini mengandung propolis yang bersifat anti bakteri dan bisa bantu mengatasi beberapa masalah kulit.

    Nah kebetulan di akhir trimester kedua kehamilan, kulit saya yang awalnya relatif baik-baik saja jadi bermasalah. Jerawat muncul dimana-mana, biang keringat yang panas plus gatal, juga melasma (penggelapan kulit semacam dark patches) di wajah dan beberapa bagian tubuh lainnya.

    Selain itu sejak hamil, saya memang jadi agak pilih-pilih produk perawatan kulit, termasuk sabun. Sebelumnya sih bodo amat hehehe, asal berbusa dan rasanya bersih sih saya pakai-pakai aja. Tapi setelah baca-baca soal zat kimia berbahaya bagi ibu hamil, saya jadi kepikiran.

    Awalnya saya cuma menghindari paraben dan triclosan (dua zat ini umum ada di produk sabun dan punya efek buruk untuk fertilitas, reproduksi serta perkembangan janin). Cuma belakangan saya juga jadi menghindari produk dengan kandungan SLS, yang dicurigai bersifat karsinogen dan berdampak buruk untuk pemakaian jangka panjang. Pas banget, Hygeia ini tidak mengandung tiga bahan berbahaya tersebut.

    Jadilah saya beli dan coba pakai sabun ini. Setelah dua bulan penggunaan sampai habis (kemasan 500ml), berikut pendapat saya soal sabun Hygeia:

    • Sabun ini tidak membuat kulit kering. Waktu saya pakai sabun biasa, seringkali setelah mandi beberapa bagian badan terasa 'bersisik' tapi waktu pakai sabun ini tidak. Rasanya bersih tapi tetap lembab.
    • Ada perasaan kurang lega saat mandi pakai Hygeia. Karena tidak mengandung SLS, sabun ini jadi kurang berbusa. Nggak mengganggu sih, cuma awal-awal suka gemes aja karena belum terbiasa, apalagi sabunnya juga nggak wangi jadi kurang greget hehehe.
    • Dalam kasus saya, Hygeia tidak berhasil menghilangkan jerawat, hanya memang jerawatnya nggak tambah parah. Sepertinya produk ini relatif baik untuk perawatan dan pencegahan jerawat tapi kurang efektif untuk pengobatan.
    • Setelah pakai Hygeia, keluhan biang keringat berkurang tapi nggak hilang sama sekali juga. Biang keringat masih kekeuh bertahan di beberapa bagian, tapi keluhan panas dan gatalnya berkurang sih.
    • Hygeia berhasil mengurangi melesma saya di badan dan di wajah. Tapi entah kenapa yang di wajah melesmanya balik muncul lagi. Mungkin pengaruh kosmetik yang saya pakai perlu di evaluasi lagi, tapi untuk melesma di badan berhasil hilang dan alhamdulillah nggak balik lagi.

    Kesimpulannya, overall saya nyaman menggunakan Hygeia dan consider untuk repurchase, karena memang untuk sehari-hari sabunnya nyaman digunakan dan minim efek negatif terutama untuk ibu hamil dan menyusui. Tapi berhubung saya masih gemes sama jerawat dan bekas jerawat, jadinya saya masih cari-cari sabun atau produk skincare lain juga sih hehehe, nanti kalo nemu yang berhasil insyaallah ditulis di sini. Atau kalau ada yang punya saran boleh banget diinfokan ke saya.




    Catatan:
    - tulisan ini bukan tulisan berbayar dan ditulis murni berdasarkan pengalaman pribadi menggunakan Hygeia yang mungkin bisa berbeda dengan pengalaman orang lain.

    - gambar dalam unggahan ini diambil dari koleksi pribadi penulis



    Senin, 06 November 2017

    Seandainya Saya Bisa Bersalin Dengan Nyala


    Kehamilan membuat apa-apa yang saya rasa jadi meningkat kadarnya. Saya jadi jauh lebih peka, lebih mudah tersentuh, atau dalam bahasa lain, hati saya ini seperti jadi lebih "ager-ager" ketimbang sebelumnya. Percaya atau tidak, saya menangis haru pada hal-hal sepele macam keberhasilan seorang koki rumahan meraih immunity pin di Masterchef atau iklan susu SGM di tv.

    Begitu pula pada musik, saya pernah mbrebes mili sendiri waktu dengar I've Got You Under My Skin-nya Frankie Valli & The Four Season karena tiba-tiba merasa liriknya somehow pregnancy anxiety related. Lalu kemarin, untuk pertama kali saya dengar Nyala, album perdana Gardika Gigih, seorang pianis plus komponis yang awalnya saya kenal lewat kolaborasinya dengan Layur dan Banda Neira. Saya tersentuh, mentok, dan keblusuk di satu lagu dengan judul sama dalam album itu, Nyala.

    Entah bagaimana, lagu ini membuat saya membayangkan proses persalinan yang penuh harap. Saya tahu ini terdengar aneh, tapi rasanya bagi perempuan yang sedang hamil, dunia memang melulu soal perut ini dan manusia kecil nan menggemaskan di dalamnya. Jadi izinkan saya coba menjelaskan...

    Dua menit awal lagu ini mengingatkan saya pada musik latar panduan hypnobirthing. Musiknya sama-sama repetitif dan tenang. Bedanya, Nyala nggak membosankan, lebih 'dinamis' dan bernyawa. Terasa pas untuk latihan womb breathing tanpa kebablasan ngantuk. Lebih cocok lagi untuk womb breathing saat fase laten persalinan pikir saya.

    Saya membayangkan pembukaan yang tenang. Rasa sakit tidak nyaman yang teratasi dengan nafas, genggaman tangan ibuk dan suami, serta  perasaan bahagia kami. Sementara itu, Si Bayi yang baik hati ikut membantu "cari jalan" dari dalam.

    Lalu lagu ini masuk ke dua menit berikutnya. Pelan-pelan lirik terdengar:

    "Nyala terang, terus benderang
    Yang telah lalu, sirna sudah
    Nyala terang, terus menerjang
    Dan cahaya, semakin terang"

    Di dalam kepala ini, rasanya saya sudah sampai pada fase aktif persalinan. Si bayi semakin giat mencari "cahaya" di ujung jalan lahir. Kepalanya yang memang sudah di bawah, mendorong, menerjang. Kuat, makin kuat, seperti nyali dan semangat saya yang tiba-tiba Tuhan ijinkan untuk jadi jauuuh lebih besar dari sebelumnya. Sepanjang jalan, wajahnya menghadap punggung saya, ociput anterior, seperti selalu saya minta dan pesankan padanya. Saya dibantu, sungguh dibantu.

    "Nyala terang, terus benderang
    Yang telah lalu, sirna sudah
    Nyala terang, terus menerjang
    Dan cahaya, semakin terang"

    Duh anakku, cahaya kecilku yang ayu.. Terima kasih. Sebentar lagi aku jadi ibu. Lahir baru. Ikut lahir bersamamu. Semoga Tuhan mudahkan semua yang buruk-buruk hilang. Semoga segala yang ada di depan, makin terang, makin benderang.

    Lagu hampir masuk dua menit yang ketiga. 
    Musik beranjak lebih ritmis, lebih kompleks. Saya membayangkan nafas yang mulai berat, keringat, tapi juga rasa terpacu dan semangat. Dalam tubuh saya hormon mulai bercampur-campur, seperti koktail. Sebelumnya hanya ada endorfin dan oksitoksin, sekarang mulai tercampur adrenalin, dan sedikit katekolamin. Saya berusaha keras tidak berteriak. Sakit ini akan saya terima, dan Tuhan akan jadikan pahala. Nafas makin berat, tapi saya mulai merasa endorfin dan oksitoksin dalam tubuh saya sudah memenangkan pertarungan mereka. Saya tiba-tiba jadi sangat senang, satu lagi hembusan nafas panjang, satu lagi hembusan nafas panjang, pikir saya.

    Dan nyata, tepat saat lagu beranjak meninggalkan menit ketujuh, Si Bayi menemukan jalan lalu keluar dengan tangis yang tak malu-malu. Dia hepi, soalnya akhirnya ketemu dengan perempuan yang sering didengarnya membahasakan diri sebagai Ibu.

    Dan selesai, lagunya selesai. Hati saya lumer, benyek, beleber :') 


    *Tulisan ini memang nggak masuk akal masuk akal banget sih, tapi akan lebih mudah dipahami kalau anda sedang hamil dan dibaca sambil mendengarkan lagunya di sini:


    kalau masih nggak berhasil juga ya sudah ndak usah dipaksa :) nikmati albumnya aja, baguus banget. Oh iya mohon maaf kalau ada kedalahan lirik, belum sempat beli rilisan fisiknya soalnya.*




    Selasa, 31 Oktober 2017

    Akhirnya Jadi Anak Stranger Things Juga




    Sebenarnya bukan baru-baru ini sih saya dengar atau tahu "Stranger Things" (serial fiksi ilmiah horror yang tayang di Netflix sejak Juli tahun lalu). Serial ini selain populer diantara fans, juga banyak dapat ulasan positif dari kritikus. Otomatis saya sering lihat sekilas berita soal Stranger Things waktu buka-buka artikel hiburan dan sosial media. Terutama soal betapa unyu dan adorable-nya dedek-dedek pemain karakter dalam serial ini. Terutama Millie Bobby Brown yang dapat nominasi Emmy di umur 13 tahun. Hebat kan? Sementara saya, di umur 13 tahun masih gagal move on dari Petualangan Sherina lalu bikin dance cover receh lagu "Jagoan" bareng anak-anak tetangga 😅.

    Tapi waktu itu jujur saja saya nggak ngebet banget nonton Stranger Things. Habis genrenya horror sih, saya jadi parno duluan. Malas saja rasanya menghabiskan waktu dibikin takut dan ujungnya susah tidur. Mendingan dibikin mewek sesenggukan gara-gara nonton This Is Us kalau menurut saya mah.

    Tapi belakangan setelah musim 1 kelar tayang,  semakin saya sering nemu artikel yang muji-muji Stranger Things, yang bilang kalau serialnya seru, pada kangen sama geng dedek-dedek Mike, Dustin, dkk, sampai yang bilang kalau scoring musik Stranger Things oke banget dan masuk nominasi Grammy. Apalagi akhir bulan Oktober kemarin Stranger Things musim 2 dirilis. Hip-nya serial ini semakin terasa, dan saya pun semakin penasaran juga jadinya.

    Akhirnya saya nonton musim 1 karena kadung penasaran. Nggak berekspektasi banyak sih, ehhh ternyata di luar perkiraan, saya suka Stranger Things!

    Lho kok bisa?

    Bisa, karena, pertama (dan ini paling penting) Stranger Things tidak seseram yang saya kira. Horornya ternyata horor monster, menurut saya masih tolerable ketimbang film hantu-hantu biasa atau thriller psikopat. Bisa dibilang seperti nonton E.T. tapi versi nggak 'unyu', kompleks dan lebih tegangnya. Pun ketegangan di Stranger Things levelnya pas, nggak bikin stres tapi cukup untuk seru-seruan dan mancing rasa penasaran. Nontonnya deg-degan sih tapi masih bisa menguatkan diri lah.

    Kedua, karakter geng dedek-dedek dalam serial ini memang gemesin banget. Sekumpulan nerd cilik yang cupu dan kerap di-bully tapi berani melawan dan membela diri juga kalau memang sudah kelewat parah. Ada juga karakter guru di sekolah dedek-dedek ini yang 'manis' sekali, berdedikasi dan selalu memotivasi rasa keinginantahuan murid-muridnya. Intinya beberapa bagian dari serial ini membuat kita merasa bahwa jadi nerd atau freak itu nggak berarti buruk. Nggak punya banyak teman memang, tapi toh apa gunanya punya  teman banyak kalau kita nggak bisa jadi apa yang kita mau waktu bareng mereka? Enakan juga punya teman sedikit, walaupun nggak bisa mendongkrak popularitas tapi bisa nyaman jadi cupu bareng-bareng.

    Ketiga, serial yang mengambil latar waktu era 80-an ini bikin era itu terlihat 'lucu' dan agak keren, beda dengan gambaran era 80-an yang saya tonton di film macam Pretty in Pink atau The Breakfast Club yang beberapa bagiannya bikin saya mbatin "ih jaman segitu norak banget sih." Well bisa jadi saya nonton film yang salah sih, tapi terlepas dari  itu saya tetap merasa penggambaran era 80-an di Stranger Things 'lucu'. 

    Bocah-bocah pergi ke sekolah dan main malam-malam pakai sepeda yang ada lampunya, Atari, arcade games, kliping, juga scoring musik yang terasa 80-an sekali tapi 'lucu', bukan asal elektronik disko-disko aerobik nggak jelas gitu. Oh ya, hampir lupa, di serial ini juga ada satu lagu The Clash yang kok jadi pas banget gitu sama jalan cerita. Lucu deh.

    Keempat, nggak monoton dan bikin ketagihan banget. Rasanya ini patokan gampang untuk bilang sebuah serial bagus atau enggak. Walaupun durasinya panjang, alurnya nggak lambat dan selalu menyisakan misteri untuk ditonton di episode berikutnya. Durasi per episode serial ini hampir satu jam tapi rasanya seperti 30 menit kurang dikit.

    Kelima, nggak full horror tapi, masih ada unsur drama walaupun sedikit. Intinya nonton serial ini nggak melulu tegang, jadi saya masih bisa bertahan nonton sampai akhir musim 1 dan sekarang mulai nonton musim 2. Ada konflik keluarga, pertemanan, cinta-cintaan, krisis identitas masa muda, dedikasi sama profesi, anxiety problem, trauma. Pokoknya ada nilai lain yang bisa diambil selain ketakutan. 

    Keenam, ada playlist Spotify-nya. Hehehe yang ini nggak penting-penting amat sih. Tapi lucu aja waktu Netflix kerja sama dengan Spotify menyediakan playlist lagu untuk masing-masing karakter Stranger Things dan mendeteksi kecenderungan playlist kita lebih mirip tokoh yang mana.

    Nah kira-kira itu deh poin yang oke-oke soal Stranger Things. Nggak okenya mungkin bagian cerita soal Nancy (kakak salah satu dedek, Mike). Personally saya nggak suka karena bagian cerita yang ini tipikal mbak-mbak pinter kesengsem mas-mas ganteng populer terus ga jadi dirinya sendiri dan ninggalin temen gitu deh. Sisanya sih oke dan gak ada yang sangat mengganggu buat saya. Eh tapi ulasan ini sebagian besar baru berdasar musim 1 saja ya, karena musim 2 baru rilis dan saya sedang 'otw' nonton. Nanti kalau sudah selesai dan sempat insyaallah  diperbarui lagi reviewnya :) 




    Catatan:
    Foto dalam unggahan ini diambil dari pinterest Sedona Baldwin dengan perubahan oleh Manzila

    Senin, 16 Oktober 2017

    Pemeriksaan Kehamilan di BWCC Jagakarsa




    Keputusan saya memilih BWCC (Bintaro Women and Children Clinic) Jagakarsa untuk pemeriksaan kehamilan rutin bermula dari Facebook. Beberapa teman saya mengikuti dan sering berbagi postingan akun dr. Kartika Hapsari SpOg. Sebenarnya saya belum hamil waktu itu, tapi karena merasa banyak info baru yang saya dapat soal kesehatan perempuan dan anak, saya pun mengikuti akun itu juga dengan niat menambah ilmu sekaligus persiapan (walaupun nikah juga masih baru hehe).

    Setahun lebih berlalu, alhamdulillah akhirnya doa saya dan suami dikabulkan Allah. Hasil test pack menunjukkan saya positif hamil. Untuk memastikan, kami pun mulai mencari dokter kandungan terdekat. Saya lalu ingat suatu hari dr Kartika pernah berbagi info tentang klinik baru cabang BWCC Jagakarsa. Setelah kroscek via internet dan menemukan ulasan positif, kami pun berangkat.

    BWCC Jagakarsa terletak di Jalan M. Kahfi I no.31B Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kalau dari arah Kebagusan/ Ragunan, letak klinik ini tak jauh dari pool Taksi Express. Bentuk bangunannya ruko empat lantai, memang nggak terlalu besar, tapi menurut saya nyaman karena jauh dari kesan rumah sakit. Kursi di ruang tunggunya empuk, jadi nyaman umtuk ibu hamil. Selain itu, ada space bermain anak, jadi memudahkan ibu-ibu yang hamil anak kedua, ketiga, dst waktu kontrol rutin bersama anak. Di dekat meja pendaftaran juga dijual minuman dan camilan, jadi tak perlu repot nyari camilan di luar.


    ruang tunggu
    (foto diambil dari Facebook fanpage BWCC Jagakarsa)

    tempat bermain anak
    (foto diambil dari Facebook fanpage BWCC Jagakarsa)

    Pelayanan di BWCC Jagakarsa ramah dan nggak ribet menurut saya. Stafnya baik, nggak jutek kalau ditanya-tanya. Jadwal dokter diupdate setiap hari di laman facebook dan reservasinya pun tidak harus dengan datang ke klinik. Bisa via telepon atau whatsapp, sangat praktis. Jika ada perubahan waktu kedatangan dokter (misalnya karena dokter menangani persalinan atau keperluan mendadak lainnya) kita akan dikabari via telepon, jadi nggak perlu buru-buru berangkat tapi eh ternyata dokternya telat. Kalau misalnya kita yang tiba-tiba berhalangan datang, cukup telepon atau whatsapp dan memindahkan jadwal ke hari lain, jadi kuota kita di hari tersebut bisa dipakai ibu hamil lain yang memerlukan. Oh ya, di sini antrian untuk masing-masing slot jadwal dokter hanya dibatasi 15 orang saja, jadi walaupun dapat antrian terakhir pun nggak nelangsa-nelangsa banget. Saya sempat periksa ke dua RS di Jakarta Selatan dan antriannya bisa sampai 20 bahkan 40 orang per slot jadwal dokter.

    Pemeriksaan medis yang tersedia di BWCC Jagakarsa cukup komplit. Walaupun nggak selengkap layanan di rumah sakit besar, tapi menurut saya sudah sangat oke untuk pemeriksaan rutin. Ditambah lagi harganya relatif bersahabat. Selain layanan medis seperti USG, USG 4D, USG transvaginal, pemeriksaan lab, dll, BWCC Jagakarsa juga menyediakan layanan tambahan seperti kelas laktasi, hypnobirthing, dan prenatal yoga. Kabarnya di BWCC Jagakarsa juga akan dibuka kelas persiapan kehamilan dan persalinan seperti di BWCC Bintaro.

    Tapi dari semua yang sudah disebutkan di atas, rasanya faktor yang paling jadi penentu saat periksa kehamilan itu dokternya, ya nggak sih? Saya kontinu periksa di BWCC Jagakarsa juga karena merasa cocok dengan dokternya.

    Awalnya saya saya rutin kontrol dengan dokter Dini Utari Spog. Tapi karena sempat baca dan dengar cerita buibu lain, jadinya penasaran pingin nyoba kontrol dengan dokter Dian Indah Purnama Spog juga. Setelah dicoba, eh ternyata dua-duanya sama-sama enak. Keduanya baik, ramah, mau menjelaskan (alias nggak diem-diem aja) dan sangat terbuka kalau kita punya pertanyaan terkait kehamilan. Akhirnya saya kontrol dengan dua dokter ini deh, gantian, menyesuaikan jadwal yang tersedia dan cocok hehehe.

    Di trimester pertama, saya sempat mengalami beberapa kali pendarahan, dan di trimester kedua, dokter menemukan beberapa kemungkinan indikasi khusus pada bayi saya. Alhamdulillah banget saat menemukan menemukan masalah pada kehamilan saya, kedua dokter ini ngasihtaunya nggak bikin panik walaupun mereka tetap nggak menyepelekan masalahnya juga. Saya dan suami jadi sangat terbantu untuk tetap tenang sambil menjalani pengobatan atau tindakan medis yang dianggap perlu.

    Oh iya, soal pengobatan dan tindakan medis, menurut saya dokter di BWCC Jagakarsa pro RUM (alias Rational Usage of Medicine). Di trimester pertama saat tak ada indikasi macam-macam, saya nggak diberikan vitamin atau obat yang aneh-aneh, dokter juga lebih menyarankan cara-cara non-obat untuk mengatasi mual, muntah, dan asam lambung yang makin parah saat hamil. Begitu juga ketika pendarahan dan sering kontraksi, obat diberikan karena memang betul-betul perlu, tapi saya tetap diwanti-wanti untuk segera menghentikan penggunaan obat ketika keluhan hilang.

    Persoalan pro RUM ini juga terbukti waktu saya kena diare dan demam di trimester kedua. Saya terpaksa periksa ke dokter kandungan lain di sebuah RS karena kuota periksa di BWCC Jagakarsa penuh. Dokter meresepkan obat yang waktu saya kroscek ke internet mendapat label cukup berbahaya untuk ibu hamil, beda dengan hasil googling obat-obat yang sebelumnya saya dapat dari BWCC. Padahal sakitnya cuma diare dan demam. Waktu suami saya minta tolong teman untuk numpang konsultasi via whatsapp ke dokter langganan istrinya, dokter tersebut pun nggak menyarankan obat saya, katanya cukup minum new diatabs saja bila perlu. Hasil saya kroscek new diatabs via internet ternyata jauh lebih aman ketimbang obat awal yang diresepkan dokter.

    Di BWCC Jagakarsa, selain kontrol rutin bulanan saya juga mengikuti kelas prenatal yoga (walaupun nggak rutin tiap minggu sih, suka bolos hehehe). Awalnya saya yoga sendiri di rumah, belajar dari video di youtube dan grup telegram Keluarga Gentle Birth. Cuma karena dalam yoga ada beberapa gerakan yang tidak disarankan untuk kondisi tertentu (bayi sungsang misalnya), saya jadi takut salah. Akhirnya saya ikut kelas prenatal yoga di BWCC Jagakarsa. Pengajarnya mbak Dyah Pratitasari (mbak Prita), seorang praktisi yoga, doula, konselor laktasi dan fotografer persalinan.

    Saya memang nggak punya pembanding sih, karena nggak pernah ikut yoga di tempat lain. Tapi saya merasa puas, senang dan terbantu dengan kelas prenatal yoga di BWCC Jagakarsa. Dari segi fisik, keluhan seperti sakit punggung, nyeri di panggul, dan tulang ekor berkurang signifikan. Dari segi mental saya juga terbantu, karena di setiap pertemuan Mbak Prita akan mengawalinya dengan sesi sharing kondisi masing-masing peserta dan keluhan yang dialami (alias curhat singkat), baru setelah itu kelas yoga dimulai dan gerakannya pun disesuaikan untuk mengatasi keluhan-keluhan tadi. Sesi akhir diisi dengan relaksasi, sugesti positif dan komunikasi dengan janin, tujuannya supaya badan kembali ke kondisi semula dan pikiran lebih tenang, nggak cemas serta lebih terhubung dengan bayi dalam kandungan. Setelah relaksasi, kelas ditutup dengan sharing apa yang dirasakan setelah ikut kelas hari itu. Well, kalau ditulis begini sih kesannya mungkin biasa saja, tapi di kondisi sesungguhnya rasanya itu beda dan lumayan empowering sih buat saya. Ketemu ibu-ibu lain dengan pengalaman kehamilan yang bermacam-macam, mendengar cerita soal apa-apa yang mereka usahakan dan harapan-harapan untuk proses persalinan nanti, juga kelegaan karena bisa mengeluarkan uneg-uneg (yang seringkali sulit dipahami suami atau orang terdekat lain yang nggak lagi hamil) kepada orang-orang yang juga mengalami atau setidaknya lebih mengerti. Rasanya hepi hehehe (dan terharu juga kadang-kadang :p)

    Nah sebelum kelamaan dan beleber kemana-mana ceritanya, kira-kira itu lah yang bisa saya share soal BWCC Jagakarsa. Kalau saja saya tak punya rencana melahirkan di kampung halaman (biar anak saya asli Arema :p), rasanya saya ingin juga nanti melahirkan di BWCC Jagakarsa. Dari info buibu, dua dokter saya di BWCC Jagakarsa sabar, pro normal, dan pro VBAC. Kliniknya sendiri juga pro IMD , mengijinkan kita melahirkan didampingi doula, dan biaya persalinannya relatif nggak mencekik untuk ukuran Jakarta.

    Sekian, semoga bermanfaat :)




    Catatan: foto pada judul unggahan ini diambil dari aliciaannphotographers.com dengan tambahan teks oleh Manzila


    COPYRIGHT © 2017 MANZILA | THEME BY RUMAH ES